Laman

Rabu, 17 September 2014

Sepasang Kekasih

    Jarum detik terus berputar, aku terus duduk sambil meminum green tea latte favoritku. Entah sudah berapa lama aku duduk disini, memerhatikan mereka. Ya mereka yang duduk disebelah sana, dekat lukisan abstrak namun penuh warna. Mungkin makna lukisan itu menggambarkan kebahagiaan mereka, mungkin, entahlah akupun tak paham mengenai lukisan. Tapi aku paham mereka sedang bahagia saling menukar rindu.
Mulanya dia seorang diri duduk disitu, dengan penuh harap menanti sesuatu. Senyumnya memancarkan keindahan seolah akan menyongsong hari yang bahagia. Tak lama seseorang datang menyapanya dan menggenggam tangannya erat dan membelai rambutnya mesra. Begitu terasa rindu yang menggebu diantara mereka meski jarakku dan mereka dibatasi oleh banyak meja dan kursi yang diisi oleh tamu. Aku berdesir melihat pemandangan itu. Siapakah mereka?
Adik dan kakak?

    Ah kurasa tidak, seorang kakak tidak akan sungkan memeluk adiknya di depan umum. Begitu juga sebaliknya. Selain itu tiada pula pertanda hormat adik pada kakak
Teman dekat?Aku rasa juga tidak, seorang teman dekat tidak akan membelai rambut temannya dengan mesra. Kekasih??

Hmmm aku perlu memerhatikan lagi dengan seksama.
Ah maafkan aku yang menerka-nerka ini, aku rasa ini menarik karena hanya bahasa tubuh mereka yang dapat aku pahami di tengah kebisingan ini.


    Aku meminum kembali latte ku, rasanya begitu membahagiakan
Dia memainkan rambutnya sambil tertawa dan yang lain tersenyum manis sambil menatapnya dalam. Kebahagiaan mereka terpancar begitu kentara melunturkan rindu yang bersemayam di kalbu. Sesekali mereka membicarakan kegiatan mereka sehari-hari, seringkali melontarkan ucapan sayang dan bahagia, tak jarang mereka mengutuk jarak. Ya aku hanya menerka dari ekspresi mereka.

Mereka, kekasih jarak jauh rupanya. Lagi-lagi ini terkaanku, tapi akupun paham seperti apa perjuangannya. Ketika pertemuan bukan sesuatu yang mahal dan bisa terjadi kapan saja sebuah pertemuan hanyalah sebuah pertemuan, ya layaknya sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Namun ketika jarak memberi sekat pada pertemuan dan pertemuan adalah sesuatu yang amat berharga, rindu perlahan melilit. Rongga yang biasa diisi dengan dekapan kini berselimut pedih dililit rindu. Deru tawa diujung pesawat telepon pun hanya melonggarkan lilitan rindu, bukan menghilangkannya. Beribu ucapan sayang dalam berbagai bentuk terus dilontarkan untuk menguatkan agar tak kalah oleh jarak. Rindu hanya dapat dituntaskan oleh pertemuan. Seperti yang mereka lakukan.

   Aku melihat dia berkaca-kaca dan kekasihnya menggenggam tangannya amat erat. Mungkin mereka teramat bahagia bisa berjumpa namun teramat menyedihkan ketika terpikirkan bahwa kelak jarak kembali memberi sekat. Mereka saling menguatkan meski rindu mulai kembali melilit mereka.
Aku meneguk latte ku sampai habis, memberi mereka privasi untuk saling menguatkan dan mengalahkan rindu. Sementara itu aku bangun dari angan-angan pertemuan, pergi keluar dan lekas meninggalkan tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar