Jarum
detik terus berputar, aku terus duduk sambil meminum green tea latte favoritku.
Entah sudah berapa lama aku duduk disini, memerhatikan mereka. Ya mereka yang
duduk disebelah sana, dekat lukisan abstrak namun penuh warna. Mungkin makna
lukisan itu menggambarkan kebahagiaan mereka, mungkin, entahlah akupun tak
paham mengenai lukisan. Tapi aku paham mereka sedang bahagia saling menukar
rindu.
Mulanya
dia seorang diri duduk disitu, dengan penuh harap menanti sesuatu. Senyumnya memancarkan
keindahan seolah akan menyongsong hari yang bahagia. Tak lama seseorang datang
menyapanya dan menggenggam tangannya erat dan membelai rambutnya mesra. Begitu
terasa rindu yang menggebu diantara mereka meski jarakku dan mereka dibatasi
oleh banyak meja dan kursi yang diisi oleh tamu. Aku berdesir melihat
pemandangan itu. Siapakah mereka?
Adik
dan kakak?
Ah kurasa tidak, seorang kakak tidak akan sungkan memeluk adiknya di depan umum. Begitu juga sebaliknya. Selain itu tiada pula pertanda hormat adik pada kakak
Teman
dekat?Aku rasa juga tidak, seorang teman dekat tidak akan membelai rambut
temannya dengan mesra. Kekasih??
Hmmm aku perlu memerhatikan lagi dengan seksama.
Ah
maafkan aku yang menerka-nerka ini, aku rasa ini menarik karena hanya bahasa
tubuh mereka yang dapat aku pahami di tengah kebisingan ini.
Aku meminum kembali latte ku, rasanya begitu membahagiakan
Aku meminum kembali latte ku, rasanya begitu membahagiakan
Dia
memainkan rambutnya sambil tertawa dan yang lain tersenyum manis sambil
menatapnya dalam. Kebahagiaan mereka terpancar begitu kentara melunturkan rindu
yang bersemayam di kalbu. Sesekali mereka membicarakan kegiatan mereka
sehari-hari, seringkali melontarkan ucapan sayang dan bahagia, tak jarang
mereka mengutuk jarak. Ya aku hanya menerka dari ekspresi mereka.
Mereka,
kekasih jarak jauh rupanya. Lagi-lagi ini terkaanku, tapi akupun paham seperti
apa perjuangannya. Ketika pertemuan bukan sesuatu yang mahal dan bisa terjadi
kapan saja sebuah pertemuan hanyalah sebuah pertemuan, ya layaknya sepasang
kekasih yang sedang kasmaran. Namun ketika jarak memberi sekat pada pertemuan
dan pertemuan adalah sesuatu yang amat berharga, rindu perlahan melilit. Rongga
yang biasa diisi dengan dekapan kini berselimut pedih dililit rindu. Deru tawa
diujung pesawat telepon pun hanya melonggarkan lilitan rindu, bukan
menghilangkannya. Beribu ucapan sayang dalam berbagai bentuk terus dilontarkan
untuk menguatkan agar tak kalah oleh jarak. Rindu hanya dapat dituntaskan oleh
pertemuan. Seperti yang mereka lakukan.
Aku
melihat dia berkaca-kaca dan kekasihnya menggenggam tangannya amat erat.
Mungkin mereka teramat bahagia bisa berjumpa namun teramat menyedihkan ketika
terpikirkan bahwa kelak jarak kembali memberi sekat. Mereka saling menguatkan
meski rindu mulai kembali melilit mereka.
Aku
meneguk latte ku sampai habis, memberi mereka privasi untuk saling menguatkan
dan mengalahkan rindu. Sementara itu aku bangun dari angan-angan pertemuan,
pergi keluar dan lekas meninggalkan tempat itu.